Minggu, 21 September 2014

JURNAL 7

Pengukuran Volume Pendarahan Otak Pasien Stroke Hemoragik Menggunakan Modalitas Multislice CT Scan di RSUD di Jakarta.
Eka Putra Syarif Hidayat 1), Tatan Saefudin 1), BS Wibowo 1)
ABSTRACT

                Stroke Haemoragik merupakan penyakit yang sering dijumpai di Indonesia. Modalitas pemeriksaan yang terbaik adalah CT Scan Multi Slice (MSCT Scan), dengan alat itu dapat membantu menegakkan diagnosis dan menentukan volume perdarahan Otak. Ketepatan pengukuran pendarahan otak sangat diperlukan untuk menentukan tindakan meduk yang tepat. Volume pendarahan otak dapat diketahui dengan pengurkuran melalui software computer yang terdapat pada pesawat MSCT Scan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana teknik pengukuran volume pendarahan otak. Penelitian ini menggunakan data skunder dari pemeriksaan CT Scan Kepala. Sampel sebanyak 68 pasien dengan kasus stroke hemoragik. Volume pendarahan otak sebagai variabel terikat, dengan cara mengukur dan menggunakan software yang ada ada pesawat MSCT Scan. Variabel independen berupa umur, jenis kelamin, banyaknya slice thickness. Hasil penelitian dapat menunjukkan bahwa Rata-rata volume pendarahan otak pada penelitian ini sebesar 21,76 cc (umur diatas 40 tahun). Kesimpulan penelitian mnunjukkan volume pendarahan otak ada berbagai umur mempunyai nilai rata-rata yang sama, tidak ada hubungan umur dengan volume pendarahan otak pada kasus stroke hemoragik. Volume pendarahan otak pada pasien laki-laki dan perempuan mempunyai nilai rata-rata yang sama, tidak ada perbedaan volume pendarahan otak antara laki-laki dan perempuan. Banyaknya slice mempunyai hubungan yang kuat dengan volume pendarahan otak pada pemeriksaan MSCT Scan Otak, dengan nilai koefisien korelasi r = 0.786 dengan factor determinan d = 0.618 (61.8%). Variabel banyaknya slice  sebagai factor yang dominan terhadap penghitungan volume pendarahan otak kasus stroke hemoragik.


Kata Kunci : stroke hemoragik, banyaknya slice, volume pendarahan otak, MSCT Scan

Jumat, 22 Agustus 2014

JURNAL 6

PEMBERIAN AIR SUSU IBU, STATUS GIZI DAN KEJADIAN INFEKSI PADA BAYI 6 – 8 BULAN
DI DESA SURADADI KECAMATAN SURADADI KABUPATEN TEGAL

Djatiningsih Setyorini , Enik Sulistyowati, Supadi
Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Semarang

ABSTRAK
Latar Belakang          : Gizi Kurang adalah factor dominan penyebab kematian bayi. Pemberian ASI Ekslusif berkontribusi terhadap status gizi dan kesehatan bayi. Beberapa masalah terdapat di Puskesmas Surodadi, seperti prevalensi pemberian ASI ekslusif masih di bawah standar minimal dan tingginya prevalensi gizi buruk, ISPA serta diare.
Tujuan                        : menganalisis hubungan pemberian ASI dan kejadian infeksi dengan status gizi bayi umur 6-8 bulan
Metode                       : Jenis penelitian ini adalah penelitian explanatory dengan pendekatan cross sectional. Subjek adalah semua bayi 6-8 bulan di wilayah kerja Puskesmas Suradadi. Variabel meliputi pemberian ASI ekslusive, status gizi dan infeksi. Uji statistic yang digunakan adalah fisher exac dan uji koefisien kontingensi.
Hasil                : Bayi yang diberi ASI ekslusif 24,6 %, yang berstatus gizi normal 94,7 & , ber status gizi buruk adalah 1,8 %. Ada 84,2 % bayi mengalami infeksi. Tidak ada hubungan antara pemberian ASI ekslusif dengan status gizi (p=1.00), namun ada hubungan antara pemberian ASI ekslusif dan kejadian infeksi (r=0,605, p = 0.00)
Kesimpulan    : Pemberian ASI ekslusif dapat menurunkan kejadian infeksi pada bayi 6-8 bulan
Kata Kunci      : Pemberian ASI ekslusif, status gizi, kejadian infeksi, 6-8 bulan bayi

Sabtu, 07 Juni 2014

JURNAL 5

Faktor Resiko Pengetahuan Kader Tentang KMS Balita Terhadap Keterampilan Menggambar Grafik Pertumbuhan Anak pada KMS Balita oleh Kader Posyandu di Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga

Condro Hadi Mulyono¹  Sunarto ²
¹ Mahasiswa Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Semarang
² Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Semarang

Abstract

Background : Health Care Center ( Posyandu) revitalization program is aimed to upgrade its function and work performance. The figure of SKDN from month to month is monitored to find out the development of posyandu’s activities and program in working area. If a codre make a mistake in weighing children’s growth, it will be resulting in wrong conclusion, wrong information, and it will be ending in the wrong decision related to the next policy.

Target research : To find out the relationship between the knowledge of children under five health cards (KMS) toward the Ability in Drawing the Growth Graphic in Children Health Cards (KMS) in Health Care Center in Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga.

Method : This  research uses time approach with cross sectional design and the sample 4362 cadres sample research are one person from each 62 Posyandu. The process of analysis uses univariant by describing each research variable and bivariant to test the relationship between two variable, they are the variable of knowledge influence and the variable of influenced cadre’s ability. Each variable relationship uses chi square of Fisher’s exact test.

Result : Most of cadres are junior high school graduation (52%) have a good knowledge about KMS (73%), but their ability in drawing children growth graphic is lack (87%). There is a relationship betweenthe knowledge of children under Five Health Cards (KMS) Toward the Ability in Drawing the Growth Graphic in Children Health Cards (KMS) in Health Care Center in Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga.

Conclusion : There Is a relationship between the knowledge of children under five healt cards (KMS)  Toward the Ability in Drawing the Growth Graphic in Children Health Cards (KMS) in Health Care Center in Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga.
Keyword : Education, knowledge, Ability in drawing graphic.

Daftar Pustaka 
Puskesmas rembang, Laporan Bansos, Kabupaten Purbalingga, 2008.
Amirudin, Ridwan. Capaian Kesehatan Indonesia. Dinas Kesehatan Jawa Tengah, Semarang, 2007. 
Depkes RI. Panduan Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) Balita.
Petugas Kesehatan Direktorat Gizi masyarakat, Jakarta 2007.
Depkes RI. Standar Pemantauan Pertumbuhan Balita. Direktorat Jemderal Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta, 2005.


Sabtu, 10 Mei 2014

Deep Interview Sekjend IKAMAGI 2013/2014

BIODATA
Nama : Firman Wiratama (Firman) 

Tempat, tgl lahir: Bukittinggi, 20 Desember 1993
Tinggi badan: 175,9 cm



1. Ceritakan tentang siapa diri Anda termasuk pendidikan dan kegiatan terakhir Anda sehari-hari.
Saya adalah seorang anak dari bapak Ali Amran dan Ibu Suwitta. Saya adalah anak kedua dari tujuh bersaudara dan sekarang menjadi mahasiswa D-III Gizi di Poltekkes Kemenkes Padang, semester 4. Cita-cita saya adalah menjadi seorang ahli gizi yang profesianal dan tentunya masih banyak lagi. Saat ini saya membantu usaha orang tua dan sangat hobi berorganisasi dan juga berbisnis hahahhaaa.... 

2. Dapatkah Anda menceritakan sesuatu yang begitu menarik atau unik tentang Anda?
Saya adalah manusia super KEPO terutama terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang lain. Bagi saya semakin banyak masalah yang bisa saya pecahkan jadi semakin banyak pelajaran yang saya dapat. Contohnya seperti masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

3. Apa yang membuat Anda tertarik untuk mencalonkan diri sebagai Sekjend IKAMAGI?
Yang pertama karna saya ingin IKAMAGI lebih dikenal lagi, dan yang kedua saya ingin menyalurkan inovasi-inovasi yang saya miliki untuk IKAMAGI agar IKAMAGI lebih baik kedepannya. Oya, satu lagi saya ingin menepati janji saya untuk mencalonkan diri dalam pemilihan IKAMAGI periode 2013/2014, hehe.

4. Sebutkan diri Anda dalam 5 kata.
Saya adalah orang kreatif, inovatif, dan visioner. 

5. Apa yg ingin Anda kembangkan atau Anda ingin tunjukkan di masa kepengurusan Anda?
Yang ingin saya kembangkan adalah sayap IKAMAGI dengan cara memperbanyak koneksi dengan organisasi-organisasi gizi lainnya. Contohnya seperti PERSAGI, ILMAGI, dan lainnya. Dan yang ingin saya tunjukkan pada kepengurusan saya adalah menunjukan keberadaan IKAMAGI dengan inovasi, sebagai contoh mengadakan acara atau kegiatan yang sasarannya adalah masyarakat seperti saat acara MUNAS di Malang insysa Allah kami akan mengadakan stand kesehatan untuk masyarakat sekitar.

6.Sejauh ini, apa yang menjadi kendala Anda untuk mengontrol perkembangan di IKAMAGI? 
Kendala yang saya alami adalah komunikasi, karna para pengurus posisinya berjauhan sehingga agak susah dalam memantau dan mengkoordinirnya.

7. Apakah visi dan misi Anda sudah mencapai target?
Visi misi saya... Saya rasa untuk mengembangkan sayap IKAMAGI sudah berjalan karena saya sudah memperbanyak jaringan ke organisasi-organisasi lain. Dan visi misi yang lain sedang dalam proses menuju sukses. Amin.

8. Bagaimana cara Anda membagi waktu antara akademik dengan IKAMAGI?
Cara saya membagi waktu. Saya rasa sama saja karena setiap hari saya juga memikirkan perkuliahan dan IKAMAGI, pada waktu-waktu senggang saya memantau bagaimana kinerja dari anggota saya tapi kendala yang terjadi disini beberapa ada yang jarang tersambung akibat jaringan di wilayah tersebut.

9. Apa program IKAMAGI dalam waktu dekat ini?
Program IKAMAGI dalam waktu dekat ini adalah MUSWIL (Musyawarah Wilayah) dan GEDORA (Gerakan donor darah).

10. Bagaimana perkembangan IKAMAGI sejauh ini?
IKAMAGI sejauh ini masih berjalan dengan baik walau masih ada anggota yang susah dihubungi, saya harap untuk keanggotaan lebih bertanggung jawab atas apa yang telah di embannya. Ingat!! Tidak satu jalan menuju Roma.

11. Pengalaman positif apa yang pernah Anda alami dan bisa dibagi kepada kita untuk menjadi inspirasi?
Saya dulunya bukan orang yang aktif di sekolah, tapi semenjak saya mendengar keluhan-keluhan orang mengenai suatu


kebijakan, saya berpikir kalau kita tidak boleh hanya mengeluh tapi kita harus bertindak dengan menjadikan diri kita berada pada posisi itu dan merubah kebijakan itu menjadi lebih baik lagi. Sehingga saya selalu aktif dalam organisasi-organisasi yang ada agar dapat memberikan inovasi baru dalam organisasi tersebut, jadi intinya siapa lagi yang akan merubah negeri kita ini menjadi lebih baik kalau bukan kita.
Baiklah itu saja dari say. Saya harap untuk teman-teman yang berorganisasi agar lebih bertanggung jawab dengan apa yang diemban karna dalam organisasi itu saling mempengaruhi satu sama lain jika satu yang tidak jalan maka yang lainnya bisa lumpuh karna hal yang satu tersebut. Ingat jabatan yang besar menyimpan tanggung jawab yang besar.

Minggu, 04 Mei 2014

JURNAL 4

PENGARUH KONSELING TERHADAP KETEPATAN POSISI DAN
PELEKATAN BAYI PADA PEMBERIAN AIR SUSU
IBU DI KLINIK SOPHIARA MAKASSAR

Ida Sari1, Sirajuddin2, Lydia Fanny2
1Alumni Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes, Makassar
2Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes, Makassa

Abstract

Background  : successfull breastfeeding is determine by mother supporting to correct breasfeeding. Skill for position and attacment is two key successfull breasfeeding mother and clinical pratice in healthy services delivery.

Objectives : to indetified effect of counselling skill for good attacment and position baby to mathers in Delivery Hospital Sopiara Makassar.

Methods :  These reasearch design is quasy experimental. Sample size is 17 person to selected by all  patiens registered in Januari 2011 in Hospital Sopiara Makassar. Data colleted by observation resfeeding process with observational brestfeeding form by WHO/Unicef. Data analysis by McNemar test.

Results: age of baby less than 12 hours (88,2%). Common  problems for breastfeeding practices is less bonding 14.29%, bad support of breast 19.05% and less oxytocine reflex 14,29%. Good positions is in line head and shoulders before 17.65% to 100% after counselling. Good attachment before 88.24% to 100%. Statistical analyzed show that not significant of position before after counselling (p=0.250) and significant of attachment before after counselling (p=0.000).

Suggestion: each clinical delivery hospital has a breastfeeding counsellor for supporting breastfeeding practices in health services. The next issue is effect of weigh gain by breastfeeding practice.

Keyword : Positions and Attachment, Counselling Breastfeeding.

LATAR BELAKANG
Peningkatan pemberian ASI telah menjadi kesepakatan global sejak dicanangkannya sepuluh sasaran kesejahteraan anak sedunia pada  World Summit For Children  tahun 1990 dan deklarasi Innocenti tentang  promotion and support  of breastfeeding  pada tahun yang sama. Memberikan ASI terutama ASI eksklusif pada bayi merupakan hak anak, yang ditegaskan dalam konvensi hak anak bahwa Negara akan menjamin dan tak seorangpun anak akan kehilangan haknya untuk memperoleh pelayanan dan perawatan kesehatan (Roesli,2004)
Pada tingkat Nasional, pemberian ASI eksklusif ditentukan dari berbagai survey. Menurut hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003,    menunjukkan bahwa   data jumlah pemberian ASI eksklusif pada bayi diusia 2 bulan hanya mencakup 64 % dari total bayi yang ada. Presentase tersebut menurun seiring dengan bertambahnya usia bayi yakni 46 % pada usia 2  –  3 bulan dan 14 % pada usia 4 – 5 bulan, bahkan lebih memprihatinkan bahwa 13 % bayi dibawah 2 bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2  –  3 bulan, telah diberikan makanan tambahan (NSS/Nutrition health Surveillance System,2002).
Pemberian ASI selalu dianjurkan karena ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi. ASI  mengandung zat-zat gizi yang lengkap, mudah dicerna, diserap, dan bermanfaat bagi optimalisasi imunitas, pertumbuhan, dan perkembangan bayi serta membina hubungan kasih sayang antara bayi dan ibunya (Depkes, 2007)
Di Indonesia terutama di  kota-kota besar,  terlihat tendensi penurunan pemberian ASI khususnya ASI eksklusif karena adanya kecendrungan dari masyarakat untuk melakukan atau meniru sesuatu yang dianggap modern, padahal sudah menjadi tradisi  dan budaya yang sangat bagus. Nenek moyang kita, ternyata sudah sangat arif, bisa menangkap keagungan dan anugerah dari Tuhan untuknya, suatu kemunduran kiranya kalau budaya nan bagus itu hilang saat ini (Rahmawati, 2009).
Berdasarkan data  Nutrition Health Surveillance System (NSS)  antara HKI dan Departemen Kesehatan di Makassar serta Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999-2003 menunjukkan penurunan    pemberian  ASI eksklusif yang cukup tajam, yaitu umur 0-1 bulan di Kota Makassar pada tahun 1999 sebanyak 51% menjadi 41% pada tahun 2003, sedangkan di pedesaan Sulawesi Selatan pada tahun 1999 sebanyak 46% menjadi 39% pada tahun 2003. Umur 2-3 bulan di Kota Makassar pada tahun 1999 sebanyak 45% menjadi 32% pada tahun 2003, sedang di pedesaan Sulawesi Selatan pada tahun 1999 sebanyak 45% menjadi 32% pada tahun 2003. Umur 4-5 bulan di Kota Makassar pada tahun 1999 sebanyak 21% menjadi 10% pada tahun 2003, sedang di pedesaan Sulawesi Selatan pada tahun 1999 sebanyak 17% menjadi 13% pada tahun 2003 (NSS, 2003).

METODE
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen  semu  ,  tanpa kelompok  kontrol. Intervensi  yang  diberikan  adalah  konseling kepada setiap  ibu nifas  di  Klinik Bersalin Sophiara Makassar. Konseling dilakukan oleh konselor laktasi yang berpengalaman. Seluruh instrument pengamatan menyusui digunakan sebelum konseling berlangsung untuk menentukan kesulitan menyusui.
Frekuensi konseling tidak ditentukan dalam penelitian ini karena mempertimbangkan  etika penelitian yang tidak dapat membedakan klien berdasarkan disain riset. Alasannya jika ditemukan kesulitan maka dilakukan perbaikan selama klien masih menjalani perawatan di Klinik  Bersalin Sophiara Makassar, jadi frekuensi  konseling disesuaikan dengan lamanya    tinggal  di klinik yaitu 0 - 24 jam.
Penelitian dilaksanakan pada  tahun 2011 di  klinik Sophiara Kecamatan Antang Kota Makassar.  Populasi ialah aeluruh Ibu menyusui  rawat inap di klinik Sophiara yang mengalami kesulitan dalam pemberian ASI. Cara mengetahui kesulitan menyusui adalah dengan melalui  pengamatan  dengan memakai Format menurut  WHO/UNICEF.  Setelah diketahui ibu menyusui mengalami masalah dalam pemberian ASI maka dimasukkan calon responden (klien)  intervensi.Terbatasnya waktu penelitian maka semua populasi dijadikan sampel  sebanyak 17  orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi berdasarkan pedoman WHO/Unicef.
Data ketepatan Posisi dan Pelekatan bayi diukur dengan skala ordinal dengan menghitung jumlah item pengamatan yang tepat dibanding semua item yang seharusnya dimiliki pada posisi dan pelekatan bayi yang ideal. Ketepatan posisi dan pelekatan dinyatakan dalam persen (%) ketepatan. Jumlah total item pengamatan sebanyak 23 item untuk identifikasi posisi dan pelekatan tepat dan 23  item untuk posisi dan pelekatan tidak tepat. Jadi untuk menilai ketepatan adalah 23  dikurangi jumlah item yang diamati tepat dikali 100. Analisis data penelitian ini menggunakan  alternatif    beda rerata sebelum dan setelah konseling yaitu Uji McNemar. Analisis data menggunakan program SPSS  for windows.

HASIL
Kondisi Umum Ibu dan Bayi Saat Pengamatan Menyusui

Pelaksanaan konseling di Klinik Sophiara Makassar didasarkan pada kondisi ibu nifas dan bayinya, yang  dapat digambarkan sebagai berikut :
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa  dari enam point instrumen pengamatan  kondisi umum ibu dan bayi sebelum konseling,  dua item diantaranya tidak menunjukkan tanda kesulitan yaitu    100% ibu tampak sehat dan juga bayi sehat.
Bayi yang menunjukkan  kemampuan untuk mencari payudara ibu sebanyak 88,23% dan masih  ditemukan sebanyak 11,76% yang tidak mampu menunjukkan respon pencarian payudara ibunya (rooting reflex)
Parameter rileks  dan  kenyamanan diketahui hanya 94,11% yang tampat rilekssementara lainnya sebanyak 5,89% bayi  dan ibu  menunjukkan ketegangan dan tidak nyaman.  Tanda bonding antara ibu dengan bayi menunjukkan 82,35% sudah terlihat, dan 17,65%  belum menunjukkan tanda bonding



Kemampuan Mengisap
Salah satu indikator utama dalam menilai keberhasilan menyusu adalah kemampuan mengisap bayi yang diamati dengan menggunakan empat point pengamatan. Hasil penelitian  tentang kemampuan mengisap bayi sebelum konseling dilakukan adalah sebagai berikut :
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ada dua point pengamatan yang  menunjukkan indikasi kuat bahwa ibu memiliki kesulitan dalam menyusui adalah tidak terlihatnya tanda reflek oksitosin yaitu sebanyak 17,65%. Hal lain yang sama adalah bayi tidak melepaskan sendiri  payudara waktu selesai menyusu sebanyak 117,65%. Sedangkan  pipi membulat waktu mengisap masih ada 5,89%  yang belum terlihat .

Ketepatan Posisi Sebelum Konseling
Ketepatan Posisi dalam kegiatan menyusui merupakan kunci pokok untuk ketepatan pelekatan.  Hasil pengamatan di Klinik Sophiara Makassar sebagai  berikut :

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ada dua    point pengamatan yang menunjukkan kondisi kesulitan yaitu, bayi tidak ditopang seluruhnya sebanyak    82,35%, kepala dan badan bayi tidak dalam  satu garis lurus sebanyak 82,35%.  Sedangkan posisi bayi mendekat ke payudara hidung berhadapan dengan puting  dan  bayi dipegang dekat badan ibu sudah benar semua .

Ketepatan Pelekatan Sebelum Konseling
Ketepatan pelekatan dalam  kegiatan menyusui merupakan faktor penting dalam mengatasi kesulitan menyusui bayi.  Hasil pengamatan di Klinik Sophiara sebagai berikut:
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ada dua  point pengamatan yang menunjukkan kondisi kesulitan yaitu pada point dagu bayi menempel pada payudara 11,76%  tidak tepat,  dan tampak areola lebih banyak dibawah bibir juga masih 88,24% tepat.
Setelah kegiatan konseling maka posisi dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa setelah dilakukan konseling, ke empat    indikator ketepatan posisi sudah mampu dilakukan dengan baik oleh ibu

Ketepatan Pelekatan Setelah Konseling
Setelah kegiatan konseling maka ketepatan pelekatan dapat dilihat pada grafik dibawah ini :
Grafik 6. Hasil Pengamatan KetepatanPelekatan Bayi  setelah konseling

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa  setelah dilakukan konseling,semua ibu nifas telah mampu melakukan pelekatan bayinya secara tepat menurut empat indikator  diatas. Hasil ini membuktikan bahwa ibu dapat menerima konseling dan akhirnya keterampilan ibu dalam pelekatan yang tepat dapat dilakukan  dengan mudah dengan hasil yang baik.
Pelekatan yang tepat hanya dapat dilakukan jika posisi juga sudah tepat. Jadi kunci keberhasilan pelekatan bayi adalah jika posisi badan bayi dan badan ibu sudah sesuai dimana seluruh badan bayi menghadap  ke badan ibu.

Pengaruh konseling terhadap ketepatan posisi
Dua  parameter yang menunjukkan adanya perubahan nyata dalam keberhasilan menyusui yaitu perubahan prosentase pada kemampuan ibu untuk menopang bayi dengan benar. Sebelum konseling ditemukan hanya 17,65%  ibu yang mampu menopang dengan benar , namun setelah konseling berubah
menjadi 100%.
Posisi kepala dan badan bayi dalam satu garis lurus awalnya hanya 17,65% berubah menjadi 100%.
Hasil analisis Uji Mc  Nemar diketahui  tidak ada  perbedaan prosentase tingkat ketepatan posisi sebelum dan setelah konseling dengan nilai signifikansi p=0.250

Pengaruh konseling terhadap ketepatan pelekatan
Dua parameter yang menunjukkan adanya perubahan nyata dalam keberhasilan menyusui yaitu  dagu bayi menempel pada payudara dan tampak lebih banyak areola diatas bibir  masing-masing  awalnya hanya 88,24%,  setelah kegiatan konseling  berubah menjadi 100%.
Hasil  analisis Uji Mc  Nemar diketahui ada perbedaan persentase tingkat ketepatan pelekatan  sebelum dan setelah konseling dengan nilai signifikansi p=0.000

PEMBAHASAN
Pengaruh konseling terhadap ketepatan Posisi
Walaupun pemberian ASI/menyusui  itu merupakan proses alamiah, namun untuk mencapai keberhasilan menyusui diperlukan pengetahuan dan teknik menyusui yang benar. Dua    parameter yang menunjukkan adanya perubahan nyata dalam keberhasilan menyusui yaitu perubahan prosentase pada kemampuan  ibu untuk menopang  bayi dengan benar. Sebelum  konseling ditemukan hanya 17,65% yang mampu menopang dengan benar,    namun setelah  di  konseling berubah menjadi 100%.
Sedangkan posisi kepala dan badan bayi dalam satu garis lurus awalnya juga 17,65%  kemudian  berubah menjadi 100% setelah konseling.
Hasil analisis Uji Mc  Nemar  diketahui bahwa tidak ada perbedaan prosentase tingkat ketepatan posisi sebelum dan setelah konseling dengan nilai signifikansi p=0.250
Secara teoritis disebutkan bahwa  ada berbagai macam posisi menyusui  yang biasa dilakukan adalah dengan duduk,  berdiri atau berbaring dan ada posisi khusus yang berkaitan dengan situasi tertentu seperti menyusui bayi kembar dilakukan dengan cara memegang bola (football posisition), dimana kedua bayi  disusui bersamaan kiri dan kanan. Pada ASI yang memancar penuh ,bayi ditengkurapkan diatas dada ibu,  tangan ibu sedikit menahan kepala bayi,  dengan posisi ini maka bayi tidak akan tersedat.
Semua posisi yang benar dapat dicapai jika dilakukan konseling menyusui secara baik khususnya selama ibu nifas masih berada di klinik bersalin bahkan saat masih melakukan kontak kehamilan pada    fasilitas pelayanan kesehatan.

Pengaruh konseling terhadap ketepatan pelekatan
Dua parameter yang menunjukkan adanya perubahan nyata dalam keberhasilan menyusui yaitu  dagu bayi menempel pada payudara dan tampak areola lebih banyak diatas bibir  dibanding dibawah bibir, sebelum konseling keduanya 88,24%  kemudian berubah menjadi 100% setelah dikonseling.
Hasil analisis Uji Mc  Nemar  diketahui ada perbedaan persentase tingkat ketepatan pelekatan  sebelum dan setelah konseling dengan nilai signifikansi p=0.000
Pelekatan adalah cara ibu memegang bayi dan meletakkan pada badan ibu yang menyebabkan bayi nyaman bersamanya sambil menyusu. Teknik pelekatan yang benar adalah bayi diletakkan menghadap perut ibu/payudara. Ibu duduk atau berbaring dengan santai, bila duduk lebih baik menggunakan kursi yang rendah (agar kaki ibu tidak  menggantung) dan punggung ibu bersandar pada sandaran kursi. Bayi dipegang pada belakang bahunya dengan satu lengan, kepala bayi terletak pada lengkung siku ibu (kepala tidak boleh menengadah,  dan bokong bayi ditahan dengan telapak tangan).
Satu tangan bayi diletakkan dibelakang badan ibu,dan yang satu di depan. Perut bayi menempel pada badan ibu,  kepala bayi menghadap payudara (tidak hanya membelokkan kepala bayi).  Telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus. Ibu menatap bayi dengan kasih sayang. Payudara dipegang dengan ibu jari diatas, jari yang lain menopang  dibawah,  jangan menekan puting susu atau areola payudara
Bayi diberi ransangan agar membuka mulut (rooting reflex) dengan cara menyentuh pipi dengan puting susu atau menyentuh sisi mulut  bayi. Setelah bayi membuka mulut, dengan cepat kepala bayi didekatkan pada payudara ibu dan puting serta kalang payudara dimasukkan ke mulut bayi. Usahakan sebagian besar kalang dapat masuk ke mulut bayi, sehingga puting susu berada dibawah langit-langit  dan lidah bayi akan menekan ASI keluar dari tempat penampungan ASI yang terletak dibawah kalang payudara.
Setelah bayi mulai menghisap payudara tidak perlu dipegang  atau disangga lagi.  Cara menyusui yang tidak benar akan mengakibatkan puting susu lecet, ASI tidak keluar optimal sehingga mempengaruhi produksi ASI selanjutnya atau bayi enggan menyusu. Untuk mengetahui bayi telah menyusu dengan teknik    yang benar dapat dilihat dari :
1.       Bayi tampak tenang
2.       Badan bayi menempel pada perut ibu
3.       Mulut bayi terbuka lebar
4.       Dagu menempel pada payudara ibu
5.       Sebagian besar kalang payudara masuk ke mulut bayi
6.       Bayi tampak menghisap kuat dengan irama perlahan
7.       Puting susu ibu terasa tidak nyeri
8.       Telinga dan tangan bayi terlihat pada satu garis lurus

Posisi  dan pelekatan  bayi saat menyusui  memberi    pengaruh yang cukup nyata dalam menjamin pasokan ASI    kepada bayi. Data menunjukkan bahwa salah satu penyebab kejadian gizi kurang pada usia < 6 bulan    disebabkan karena pemberian ASI yang tidak optimal.

KESIMPULAN
1.       Ketepatan posisi  pada  pemberian ASI sebelum konseling di Klinik Sophiara Kota Makassar  masih  ditemukan kesulitan. Pada kemampuan menopang badan bayi yaitu  17,65%  sudah  tepat, dan kemampuan menempatkan kepala dan badan bayi dalam posisi sejajar dalam satu garis lurus  17,65%  tepat.
2.       Ketepatan pelekatan pemberian ASI sebelum konseling di Klinik Sophiara Kota Makassar  juga masih  ditemukan kesulitanyaitu pada  point pengamatan dagu bayi menempel pada payudara  masih ada11,76%    tidak tepat,  dan kemampuan untuk menempatkan  areola lebih banyak diatas bibir dibanding dibawah bibir yaitu88,24%  sudah tepat
3.       Ketepatan posisi setelah konseling adalah 100% untuk semua item pengamatan.
4.       Ketepatan pelekatan setelah konseling adalah 100% untuk semua item pengamatan.
5.       Hasil analisis statistik diketahui bahwa tidak  ada pengaruh pemberian  konseling pada ketepatan posisi  antara sebelum dan setelah konseling, sedangkan untuk ketepatan pelekatan ada  pengaruh terhadap ketepatan posisi sebelum dan setelah konseling  dilakukan  di Klinik Sophiara Makassar.

SARAN
1.       Setiap klinik bersalin  harus  memiliki bidan konselor laktasi yang bertugas memberikan konseling kepada ibu menyusui agar teknik pemberian ASI tepat, sehingga bayi mendapat asupan ASI dan zat gizi yang  optimal  sesuai dengan kebutuhannya.
2.       Peneliti selanjutnya meneliti pengaruh konseling laktasi terhadap kenaikan berat badan bayi.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 2007 .  Panduan Pelatihan Konseling menyusui,  Depkes, Jakarta.
NSS  , 2002.  Breastfeeding and Complementary  Feeding Practice in Rural South Sulawesi, Crisis Bulletin, Thn 4, Volume 26, Desember 2002.
Roesli, U,  2004.  SDM Mendatang Tergantung ASI Eksklusif. (Online). (http://www.gizi.net.com). Diakses 15 Juli 2010
Roesli, U, 2005.  Petunjuk praktis menyusui, Trubus Agriwidya, Jakarta, 2005
Rahmawati, 2009.  Peran Kadarsi pada input dan proses prgram peningkatan pemberian ASI Eksklusif di kecamatan Tanete Rilau Kab.Barru  ,Skripsi FKM UH.2009
Senarath U, 2010, Factors Associated With Nonexclusive Breastfeeding in 5 East and Southeast Asian Countries: A Multilevel Analysis, J Hum Lact. 26(3):248-257
.






Jumat, 25 April 2014

JURNAL 3

PENGARUH PENYULUHAN GIZI TERHADAP PENGETAHUAN,
ASUPAN PROTEIN DAN ZAT BESI SERTA PENINGKATAN KADAR
HEMOGLOBIN PADA IBU HAMIL YANG ANEMIA DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS MATTOMBONG KABUPATEN PINRANG

 Salmiah1, Rudi Hartono1, Badariah2
1Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes, Makassar
2Alumni Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes, Makassar

Abstract

Background: Anemia is a state of deficiency of red blood cells (erythrocytes), usually as a result of the consumption of nutrient deficiency, especially protein, iron and loss a lot of blood which are not able to be replaced with food consumption

Objectives:     This   study    aimed    to  determine    the   effect  of  nutrition  education     on knowledge,   protein   intake   and   iron,  and   increased   levels   of   hemoglobin   for   anemia   in pregnant women, Puskesmas Mattombong Pinrang

Methods:      The research design is static group comparison design which consists of two groups, the treatment group and the control group with delta test knowledge, protein and iron intake, and increased levels of Hemoglobin using two independent samples T test.

Results:  Results   showed   that   before   and   after   intervention,   known   that   better   level   of knowledge   as   much   as   4   samples   (20.0%),   increased   to   18   samples   (90.0%)   in   the treatment     group,   good   protein   intake  as  much    as   5  samples    (25.0%)   increased    to 16 samples (80.0%) in the treatment group after intervention, whereas iron intake before and after intervention, both the treatment group and the control group no increase.

Conclusion: There are differences in knowledge, protein and iron intake before and after intervention was P <0.05, while there was no difference in Hemoglobin levels before and after intervention was p = 0.329.


Keyword: Nutrition education, protein intake and iron, hemoglobin, anemia

PENDAHULUAN                                                    
Masalah gizi di Indonesia dan di Negara yang berkembang masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah anemia, masalah Gangguan  Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin (KVA) dan masalah obesitas di kota-kota besar (Supariasa, 2002).                        
Masalah gizi di sebabkan oleh berbagai faktor baik faktor secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu faktor secara tidak  langsung adalah  ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan rumah tangga memperoleh makanan untuk memenuhi kebutuhan zat-zat
gizi yang dibutuhkan oleh tubuh  (Soekirman, 2000).
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia terutama bagi ibu hamil karena mereka banyak yang mengalami defisiensi  zat besi. Anemia berperan pada peningkatan prevalensi  risiko kesakitan  dan  kematian pada  ibu dan  bayi, secara keseluruhan  45% anemia terjadi pada ibu hamil    di negara berkembang (Fatmah, 2007).
Anemia  pada wanita hamil dapat meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan.  Resiko kematian maternal, angka prematuritas,  berat badan bayi lahir rendah dan angka kematian perinatal meningkat.  Berdasarkan profil kesehatan provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009,  di Indonesia prevalensi anemia pada ibu hamil meningkat menjadi 70%  dan  penelitian yang dilakukan oleh Ridwan Amiruddin pada tahun 2004 sekitar 83,6% ibu hamil yang mengalami anemia yang lokasi penelitiannya di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. Persentase anemia pada ibu hamil terus meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan, pada trimester I 8% anemia pada ibu hamil, trimester II  12 % dan pada trimester III 29%.
                Prevalensi anemia ibu hamil berdasarkan  Depkes di  Kabupaten Pinrang tahun 2007 terdapat 11 orang ibu hamil dengan anemia berat, tahun 2008, 60 ibu hamil, tahun 2009 125 ibu hamil dan tahun
2010 sebanyak 1432 (16,94%) ibu hamil dengan anemia berat. Berdasarkan profil Kesehatan Puskesmas  Kecamatan Mattombong  mengalami peningkatan dari tahun 2009 ibu hamil dengan anemia sebanyak 20 orang (30%) meningkat pada tahun 2010 yaitu sekitar 37 ibu hamil dengan anemia  (51,38%) dan sebanyak 52 ibu hamil dengan anemia  (40,94%) dengan anemia dari 127 sampel.
                Mengingat dampak anemia, khususnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia,  maka  diperlukan suatu metode dalam pemecahan masalah anemia pada ibu hamil salah satunya adalah dengan pendidikan gizi melalui penyuluhan pada masyarakat yang berorientasi pada perubahan-perubahan pola menu dan kebiasaan masyarakat yang mengarah kepada pencapaian kemandirian
masyarakat dengan kerja sama yang baik antara pemerintah daerah, masyarakat dengan petugas kesehatan (Setyaningsih, 2008).

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu dengan desain penelitian static group Comparison design  yaitu rancangan yang terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen menerima perlakuan dan kelompok kontrol yang diikuti dengan pengukuran kedua atau observasi. Kelompok perlakuan dalam penelitian ini adalah kelompok yang  mendapat penyuluhan gizi, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok tidak mendapat penyuluhan. Intervensi dilakukan selama 1 bulan dengan frekuensi 1 kali/minggu tiap kelompok yang terdiri dari 5 ibu hamil pada kelompok perlakuan. Alat bantu yang digunakan adalah leaflet  yang diperbesar untuk memudahkan penyampaian materi penyuluhan.

Lokasi dan waktu penelitian.
Peneltian ini  telah    dilakukan di wilayah Puskesmas Mattombong di Kabupaten Pinrang  pada bulan Februari  –  bulan Oktober 2012

Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang bermukim di wilayah kerja Puskesmas Mattombong, Kabupaten Pinrang yang berjumlah 127 sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:
1.       Ibu hamil trimester I, II dan III
2.       Ibu hamil yang memiliki kadar Hb <11 gr/dl
3.       Ibu hamil yang tidak patuh dalam mengonsumsi tablet Fe
4.       Ibu hamil yang bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.
Setelah sampel dihomogenkan selanjutnya sampel tersebut dibagi menjadi 2 bagian yaitu sampel sebagai intervensi dan sampel sebagai control dengan cara merandom semua sampel yang berjumlah 40 sampel.

Pengumpulan Data
Data tingkat pengetahuan ibu hamil dikumpulkan dengan cara sampel menjawab kuesioner yang diberikan kemudian dihitung rata-rata jawaban dari semua sampel, selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan kriteria objek, dikumpulkan sebelum penyuluhan dilakukan sebagai data awal dan setelah selesai intervensi dilakukan selama satu bulan data pengetahuan dikumpulkan kembali sebagai data akhir.
Data asupan protein dan zat Fe ibu hamil dikumpulkan dengan menggunakan teknik “food recall” 2×24 jam. Data asupan protein  dan zat besi dikumpulkan sebelum penyuluhan dilakukan sebagai data awal dan setelah  intervensi selama satu bulan dikumpulkan kembali sebagai data akhir.
Gambaran umum lokasi penelitian, jumlah ibu hamil yang ada di Puskesmas Kecamatan Mattombong, Kabupaten Pinrang, dikumpulkan dengan cara observasi langsung dan menyalin langsung data yang ada serta data kadar Hb dikumpulkan sebelum dan sesudah intervensi dilakukan dengan menggunakan alat digital dengan merek  Easy Touch GCHb.

HASIL 

Berdasarkan tabel di atas, umur sampel dengan frekuensi terbesar baik pada kelompok perlakuan maupun dengan kelompok kontrol adalah kategori 25-29 tahun yaitu sebanyak 17 sampel (85%) kelompok intervensi dan sebanyak 13 sampel (65%) kelompok kontrol.


Pada tabel  2  dapat dilihat, bahwa usia kandungan pada kelompok perlakuan terbesar adalah 1-3 bulan sebanyak 9 sampel (45%) sedangkan pada kelompok kontrol frekuensi terbesar adalah 4-6 bulan sebanyak 10 sampel (50%).


Tabel  3  menunjukkan, bahwa pendidikan sampel yang terbesar pada kelompok perlakuan adalah SMA sebanyak 9 sampel (45%), kelompok control adalah SMP sebanyak 9 sampel (45%), sedang frekuesi terkecil baik kelompok perlakuan maupun kontrol masing-masing adalah S1 yaitu 1 sampel (5%).

Tabel  4  dapat dilihat bahwa jenis pekerjaan sampel terbesar baik pada kelompok perlakuan maupun kontrol adalah Ibu Rumah Tangga sebanyak 19 sampel (95%)

Status Gizi

Berdasarkan tabel  5  di atas dapat dilihat bahwa status gizi sampel berdasarkan LLA baik pada kelompok perlakuan maupun control terbesar adalah status gizi kurang sebanyak 13 sampel (65%) dan 11 sampel
(55%).

Pengetahuan
Tingkat pengetahuan sampel sebelum dan sesudah penyuluhan dapat dilihat pada tabel 6.


Tabel  6  di atas menunjukkan bahwa hasil tingkat pengetahuan sebelum dilakukan penyuluhan gizi yang tertinggi pada kelompok perlakuan adalah tingkat pengetahuan kurang sebanyak 16 sampel (80%), kategori baik 4 sampel (20%) dan mengalami peningkatan sesudah intervensi dilakukan yaitu kategori baik sebanyak 18 sampel (90%), kategori kurang 2 sampel (10%). Sedangkan kelompok kontrol tingkat pengetahuan tidak mengalami perubahan yang bermakna, yaitu kategori kurang sebelum penyuluhan gizi sebanyak 15 sampel (75%), baik  5 sampel (25%), sesudah intervensi dilakukan kategori kurang sebanyak 18 sampel (70%) dan baik 2 sampel (30%). 

Asupan Zat Gizi
Asupan protein sampel sebelum dan sesudah penyuluhan dapat dilihat pada tabel berikut:


Tabel  7  menunjukkan, bahwa hasil asupan protein sampel sebelum dilakukan penyuluhan gizi yang tertinggi masing-masing dari kelompok perlakuan dan kontrol adalah asupan protein kurang sebanyak 15 sampel (75%) kelompok perlakuan dan 16 sampel (80%) kelompok kontrol. Sedangkan sesudah
dilakukan penyuluhan gizi yang tertinggi adalah asupan protein baik sebanyak 16 sampel (80%), kbelompok perlakuan dan 15 sampel (75%) kelompok kontrol.

Asupan zat besi sampel sebelum dan sesudah penyuluhan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel  8  di atas, dapat dilihat bahwa hasil asupan zat besi sampel baik sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan gizi yang tertinggi masing-masing dari kelompok perlakuan dan kontrol adalah asupan zat besi kurang sebanyak 20 sampel (100%) kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Kadar Hb ibu hamil
                Kadar Hb sampel sebelum dan sesudah penyuluhan dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9  di atas menunjukkan bahwa hasil kadar Hb sebelum dilakukan penyuluhan gizi yang tertinggi pada kelompok perlakuan adalah kadar Hb ≥10 mg/dl sebanyak 13 sampel (65%) dan mengalami peningkatan sesudah intervensi dilakukan yaitu sebanyak 15 sampel (75%). Sedangkan kelompok
kontrol tdak mengalami perubahan kadar Hb sebelum dan sesudah intervensi.

Analisis statistik
Perbedaan (delta) kadar Hb sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan gizi dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 10  di atas menunjukkan bahwa, setelah 1 bulan intervensi delta kadar Hb ibu hamil pada kelompok perlakuan lebih tinggi dari kontrol (0,06 >0,03), namun tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p=0,329) dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa, setelah 1 bulan  intervensi delta skor pengetahuan ibu hamil kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol (p=0,000), artinya ada perbedaan yang bermakna antara skor pengetahuan kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol, dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Tabel 12  di atas menunjukkan bahwa, perubahan (delta) asupan zat gizi protein dan besi lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol (p<0,05), artinya ada perebedaan yang bermakana antara asupan protein dan zat besi sebelum dan sesudah penyuluhan  pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.

PEMBAHASAN
Pengetahuan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang anemia sebelum dilakukan penyuluhan gizi baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol kurang baik, kelompok intervensi sebanyak 16 sampel (80%) dan kelompok kontrol sebanyak 15 sampel (75%) dengan kategori tingkat pengetahuan kurang. Hal ini disebabkan karena sebagian besar ibu hamil belum memahami akibat-akibat yang akan timbul dari masalah anemia pada ibu hamil.
Menurut Notoadmodjo (2007) Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Terbentuknya perilaku baru dimulai dari pengetahuan terhadap stimulus berupa materi atau objek yang berhubungan tentang anemia sehingga menimbulkan respon dalam penatalaksanaan diet pada ibu hamil.
Salah satu usaha untuk meningkatkan pengetahuan adalah dengan mengikuti kegiatan seminar atau penyuluhan tentang khususnya tentang gizi. Penyuluhan gizi pada hakikatnya adalah suatu kegiatan untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat atau kelompok yang diharapkan akan berpengaruh kepada perilaku sasaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, setelah uji delta skor pengetahuan dilakukan pada delta skor pengetahuan kelompok intervensi dengan k elompok kontrol didapatkan, bahwa ada perbedaan yang bermakna antara skor pengetahuan kelompok intervensi dengan kelompok kontrol p<0,05.
Hal tersebut disebabkan karena intervensi yang diberikan berupa penyuluhan yang intensif dengan materi tentang anemia, akibat anemia pada ibu hamil dan makanan yang baik untuk ibu hamil. Seperti yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007), dengan memberikan pendidikan kesehatan (gizi) secara intensif dapat menghasilkan perubahan dan peningkatan pengetahuan pada individu, kelompok atau masyarakat, sejalan dengan penelitian Ngraheni (1998) dalam Setyaningsih (2008) menyatakan bahwa, perilaku dalam bentuk pengetahuan berkaitan erat dengan tingkat kejadian anemia pada ibu hamil.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Aswita Amir (2008) menyatakan bahwa penyuluhan yang dilakukan tenaga gizi pendamping berpengaruh terhadap perbedaan perubahan skor pengetahuan ibu hamil, tingkat kecukupan energy, status gizi (skor BB/U, PB/U dan BB/PB) serta hari sakit diare subjek.

Asupan zat gizi
Berdasarkan hasil penelitian, asupan zat gizi yang terdiri dari protein dan zat besi sebelum dilakukan penyuluhan gizi baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol kurang baik yaitu sebanyak 15 sampel (75%) kategori kurang asupan protein meningkat menjadi 16 sampel (80%) kategori asupan protein baik kelompok intervensi setelah penelitian dilakukan. Sedangkan asupan zat besi sampai akhir intervensi sebanyak 20 sampel (100%) kategori kurang asupan zat besi. Hal ini disebabkan karena  pemilihan bahan makanan yang kurang bervariasi, misalnya jika mereka mengomsumsi tempe dan tahu sebagai lauk utama mereka tidak lagi mengomsumsi ikan, daging dan ayam dan sebagian dari mereka yang tidak mengomsumsi jenis makanan tertentu, misalnya daun  kelor yang kaya akan zat besi, vitamin A karena menurut mereka dengan mengomsumsi daun ubi persalinan akan kurang lancar.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh oleh Muehji (2002) menyatakan bahwa, penyebab gangguan gizi secara langsung dipengaruhi oleh asupan makanan dan penyakit infeksi, dimana asupan makanan seseorang dipengaruhi oleh ketidaktahuan akan hubungan makanan dengan kesehatan, adanya kebiasaan atau pantangan terhadap jenis bahan makanan tertentu yang merugikan, kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu dan faktor penghasilan keluarga.
Adanya peningkatan pengetahuan ibu hamil pada kelompok intervensi dan kontrol, juga berpengaruh pada asupan gizi yang mengalami peningkatan (perbedaan) yang bermakna hingga akhir intervensi (p<0,005), yaitu pada zat gizi protein dan zat besi yang mana Hb secara langsung dibentuk oleh kedua zat gizi tersebut (protein dan zat besi). Hal ini disebabkan karena ibu hamil setelah dilakukan penyuluhan, mereka mulai mengetahui dan memahami tentang anemia pada ibu hamil, makanan yang baik untuk ibu hamil, selain itu daerah penelitian ini merupakan salah satu daerah penghasil ikan laut.
Sadikin (2005) menyatakan bahwa, proses penbentukan Hb dimulai dari eritroblas, kemudian dilanjutkan ke retikulosit. Bagian hem dari hemoglobin, terutama asetat dan glisin yang disintesis dalam mitokondria. Langkah awal adalah pembentukan senyawa priol, kemudian setiap empat senyawa priol akan membentuk protoporfirin yang akan terikat dengan zat besi membentuk molekul hem, dan empat molekul hem ini akan terikat dengan satu globulin (yang disintesis diribosum reticulum endosplasma), dan akhirnya terbentuklah hemoglobin.
Teori ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh  Murdianto muji (2010) menyatakan, bahwa adanya hubungan yang signifikan status anemia dengan tingkat konsumsi zat besi (p=0.043) dan konsumsi protein (p=0.002), artinya semakin rendah asupan protein dan zat besi semakin potensial untuk terjadi anemia.  Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia, yang menjangkiti lebih dari 600 juta manusia dengan frekuensi yang masih cukup tinggi, yakni berkisar antara 10 % dan 20 %.

Kadar Hb
Kadar Hb merupakan salah indikator yang digunakan untuk menentukan seseorang anemia atau tidak anemia yang secara langsung dibentuk oleh zat protein dan zat besi serta jenis zat gizi lain yaitu vitamin B 6, B12 asam folat, dan vitamin C. Menurut Aritonang (2010)  Penyebab utama anemia adalah karena kurangnya mengomsumsi zat-zat esensial yang dibutuhkan dalam pembentukan hemoglobin (Hb) yaitu protein dan zat besi disamping zat gizi lainnya misalnya B12,  vit C dan sebagainya, dan absorpsi zat besi yang rendah dari pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang kurang beranekaragam atau kehilangan darah yang berlebihan dan tidak mampu diganti oleh konsumsi makanan.
Hasil penelitian menyatakan bahwa adanya peningkatan asupan protein dan zat zat besi pada kelompok intervensi dan sampel, namun peningkatan tersebut  tidak menyebabkan kadar Hb ibu hamil juga meningkat (p>0,05). Hal ini disebabkan karena kadar Hb bukan hanya dipengaruhi oleh asupan protein dan zat besi, tetapi juga dipengaruhi oleh adanya gangguan metabolisme dalam penyerapan, adanya penyakit infeksi dan ketidak patuhan ibu hamil dalam mengomsumsi tablet Fe.

KESIMPULAN
1.    Tingkat pengetahuan sebelum dilakukan penyuluhan gizi pada kelompok perlakuan kategori tingkat pengetahuan baik sebanyak 4 sampel (20%) dan meningkat menjadi 18 sampel (90%) sesudah penelitan, sedangkan kelompok kontrol tingkat pengetahuan kategori baik sebanyak 5 sampel (75%) menurun menjadi 2 sampel (10%), sesudah intervensi dilakukan.
2.    Asupan protein sampel sebelum dilakukan penyuluhan gizi kategori asupan protein baik sebanyak 5 sampel (25%) kelompok perlakuan meningkat menjadi 16 sampel (80%) dan kelompok kontrol kategori asupan protein baik sebanyak 4 sampel (15%) meningkat menjadi 15 sampel (75%) sesudah penelitian.
3.    Asupan zat Fe sampel baik sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan gizi kategori asupan zat Fe kurang sebanyak 20 sampel (100%) kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
4.    Kadar Hb sebelum penyuluhan kelompok perlakuan kategori kadar Hb ≥ 10 mg/dl sebanyak 13 sampel meningkat menjadi 15 sampel (75%) sesudah penelitian, sedangkan kelompok kontrol tidak mengalami perubahan.
5.    Hasil uji delta menunjukkan, adanya perbedaan tingkat pengetahuan dan asupan protein dan  zat Fe p<0,05 dan tidak ada perbedaan kadar Hb sebelum dan sesudah intervensi dilakukan p>0,05.

SARAN
1.    Perlu ditingkatkan materi penyuluhan bukan hanya seputar masalah anemia saja tetapi tentang pentingnya kepatuhan mengomsumsi tablet Fe
2.    Dalam  pelaksanaan konsultasi  perlu memanfaatkan media yang menarik agar sasaran bersemangat mengikuti penyuluhan misalnya poster, power point dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2004.  Prinsip Dasar Ilmu Gizi.  Jakarta; Gramedia Pustaka Utama;
Aritonang irianto. 2010.  Menilai status gizi untuk mencapai sehat optimal. Yogyakarta ; Leutika dengan Cebios Dinas difa.  Kamus Istilah Kedokteran. Gramedia press.
Fatmah. 2007.  Gizi Dan Kesehatan Masyarakat.  Jakata; PT Raja Grafindo Persada.
Notoatmodjo  Soekidjo. 2007. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta; PT Rineka Jaya
Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. 2009. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan.
Supariasa, nyoman, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta; EGC.
Winarno, F,G. 2004.  Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta;PT Gramedia Pustaka Utama.